Analisis Oregairu: Saat Tiga Orang Rusak Menciptakan Keseimbangan Sempurna

Kalau lo pikir Oregairu itu cuma anime drama SMA biasa, lo salah besar. Di balik semua dialog sinis dan komedi romantis yang canggung, Oregairu adalah sebuah studi kasus yang brilian tentang kodependensi. Ini adalah cerita tentang bagaimana tiga orang dengan bug fundamental di dalam diri mereka, secara nggak sadar menciptakan sebuah ekosistem yang stabil, tapi sangat beracun.

Ini bukan lagi soal cinta segitiga. Ini adalah soal arsitektur hubungan yang rusak, di mana setiap orang memainkan peran yang sudah ditentukan untuk menjaga sebuah ilusi yang mereka sebut “pertemanan”. Mari kita bedah tiga komponen utama dari sistem yang rumit ini.

Komponen #1: Hachiman Hikigaya - Si Pahlawan yang Menghancurkan Diri Sendiri

Hachiman adalah inti dari semua masalah ini. Dia adalah seorang “Fixer”, tapi dengan metode yang sangat aneh. Kalau ada masalah, solusinya bukan dengan memperbaikinya, tapi dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai penjahat. Dia rela jadi orang yang paling dibenci, yang paling kejam, agar “masalahnya selesai” dan orang lain tidak perlu terluka.

Secara nggak sadar, harga dirinya terikat pada peran ini. Dia merasa “berguna” saat dia bisa berkorban. Dia pikir dia itu mandiri dan penyendiri, padahal dia adalah yang paling butuh orang lain. Dia butuh teman-temannya untuk punya masalah, agar dia bisa “menyelesaikan”-nya dengan cara yang menyakitkan, dan merasakan secuil kepuasan dari pengorbanannya itu.

Komponen #2: Yukino Yukinoshita - Si Perfeksionis yang Rapuh

Di permukaan, Yukino adalah gambaran kesempurnaan. Pintar, cantik, dan terlihat sangat mandiri. Tapi di baliknya, dia sangat rapuh. Dia punya ketakutan luar biasa untuk membuat keputusan yang “salah” atau “kotor”. Dia tidak sanggup menghadapi konflik secara langsung.

Di sinilah dia menjadi kodependen terhadap Hachiman. Dia membutuhkan metode Hachiman yang brutal itu. Kenapa? Karena metode Hachiman membebaskan dia dari tanggung jawab. Dia tidak perlu jadi “orang jahat” karena Hachiman sudah mengambil peran itu untuknya. Dia bisa tetap menjaga citra sempurnanya sementara masalah di sekitarnya “selesai” dengan cara yang tidak elegan. Dia bergantung pada pengorbanan Hachiman untuk melindungi kerapuhannya sendiri.

Komponen #3: Yui Yuigahama - Si Lem Perekat yang Baik Hati

Yui adalah penyeimbang dari semua ini. Dia adalah “lem” yang menjaga kedua komponen rusak lainnya tetap menempel. Dengan senyum dan kebaikan hatinya, dia akan melakukan apa pun untuk menjaga “kedamaian” di permukaan, bahkan jika itu artinya dia harus menekan dan mengorbankan perasaannya sendiri.

Peran Yui sebagai “penjaga harmoni” ini sangat bergantung pada masalah yang ada di antara Hachiman dan Yukino. Kalau hubungan Hachiman dan Yukino sehat dan mereka bisa berkomunikasi dengan jujur, peran Yui sebagai “penengah” menjadi tidak lagi dibutuhkan. Dia secara tidak sadar membutuhkan keretakan di antara mereka agar dia bisa merasa punya tempat dan tujuan di dalam kelompok itu.

Keseimbangan yang Beracun dan Permintaan akan “Sesuatu yang Tulus”

Lihat polanya? Tiga orang ini menciptakan sebuah kursi berkaki tiga yang semua kakinya bengkok. Justru karena bengkoknya saling menopang, kursi itu bisa berdiri dengan stabil.

  • Hachiman butuh masalah untuk dikorbankan.
  • Yukino butuh masalahnya selesai tanpa harus kotor tangan.
  • Yui butuh ada masalah di antara mereka untuk bisa dia damaikan.

Siklus ini berjalan sempurna sampai Hachiman akhirnya muak dan meminta “sesuatu yang tulus” (a genuine thing). Permintaan itu bukanlah sebuah pengakuan cinta. Itu adalah permintaan untuk melakukan factory reset. Dia ingin menghapus keseluruhan sistem yang busuk ini. Dia tidak mau lagi bermain peran. Dia ingin sebuah hubungan yang jujur, di mana mereka bisa saling terkoneksi apa adanya, bahkan jika itu berarti harus saling menyakiti dengan kebenaran.

Kesimpulan

Oregairu mengajarkan kita sebuah pelajaran pahit tentang hubungan. Kadang, hubungan yang terlihat paling stabil adalah yang paling tidak sehat.

Hubungan yang tulus bukanlah tentang saling melindungi dari rasa sakit dengan kebohongan, tapi tentang memiliki keberanian untuk menghadapi rasa sakit itu bersama-sama dengan kejujuran.

Ini adalah tentang berhenti memainkan peran—pahlawan, korban, atau penengah—dan mulai menjadi diri sendiri yang apa adanya, berharap ada orang lain yang cukup berani untuk menerima kita, dengan semua kerumitan dan kekurangan kita.