Ego Cowok: Harus Dielus atau Dihajar Bareng?
Kayaknya udah jadi rahasia umum ya, kalau ngomongin hubungan, pasti ada satu topik yang suka bikin ngeri-ngeri sedap: ego cowok. Ada mitos yang bilang kalau ego cowok itu kayak porselen antik: harus dipegang hati-hati, dielus-elus, dan jangan sampai kesenggol, nanti retak. Kalau dia ngambek, “maklumin aja, egonya lagi kesenggol.” Kalau dia nggak mau ngaku salah, “yaudah ngalah aja, kasih makan egonya.”
Seriously? Apa bener hubungan yang sehat itu dibangun di atas satu pihak yang harus terus-terusan jadi “pawang ego”?
Let’s be real. Kalau kita terus-terusan ngomongin “ego” kayak gini, kita sebenarnya lagi kejebak di pertanyaan yang salah. Karena yang sering kita sebut “ego” itu sebenarnya ada dua jenis, dan cara nanganinnya beda banget.
Bedain Dulu: Gengsi vs. Harga Diri
Sebelum lanjut, kita harus bisa bedain dua hal ini. Karena ini adalah kunci dari semuanya.
- Gengsi (The ‘Ego’ yang Rusak)
Ini adalah “ego” yang kita maksud dalam konotasi negatif. Sifatnya rapuh, berisik, dan haus validasi. Sumbernya bukan dari kekuatan, tapi dari rasa insecure. Takut keliatan lemah, takut salah, takut nggak dihargai. Wujudnya? Gampang tersinggung, nggak mau ngalah dalam argumen, butuh dipuji biar ngerasa hebat, dan anti-kritik. - Harga Diri (The Real ‘Ego’ yang Sehat)
Ini adalah fondasi dari seorang individu yang matang. Sifatnya kokoh, tenang, dan datang dari dalam diri. Sumbernya adalah rasa percaya pada kemampuan dan nilai diri sendiri, nggak peduli apa kata orang. Wujudnya? Punya prinsip, bisa ngaku salah tanpa merasa hancur, bisa nerima masukan, dan bisa memimpin sekaligus melindungi.
Udah mulai keliatan bedanya, kan?
Jadi, Mana yang Harus Dielus dan Mana yang Harus Dihajar?
Dengan dua definisi tadi, aturan mainnya jadi jelas.
Gengsi (The ‘Ego’ yang Rusak): Ini yang Harus “Dihajar” Bareng-Bareng.
“Ngasih makan” gengsi itu adalah ide terburuk dalam sebuah hubungan. Kalau lo terus-terusan ngalah biar dia seneng, atau muji berlebihan biar dia nggak ngambek, lo lagi bilang ke dia: “Nggak apa-apa kok jadi rapuh dan haus pujian, aku yang bakal jadi supplier-nya.” Ini resep jitu buat ngebangun hubungan kodependen yang toxic.
“Menurunkan ego” yang sesungguhnya itu adalah saat lo dan pasangan lo sama-sama setuju untuk ngebuang gengsi masing-masing. Ini artinya:
- Kalian berdua siap untuk bilang, “Oke, di bagian ini gue yang salah.”
- Kalian berdua lebih mentingin kesehatan hubungan daripada siapa yang “menang” debat.
- Kalian berdua berani untuk jadi rapuh (vulnerable) di depan satu sama lain.
Harga Diri (The Real ‘Ego’ yang Sehat): Ini yang Harus Dibangun dan Dikuatkan Bareng-Bareng.
Harga diri itu nggak butuh dielus-elus dengan pujian kosong. Harga diri itu butuh “nutrisi” yang berkualitas. Lo “ngasih makan” harga diri pasangan lo dengan:
- Rasa Hormat (Respect): Benar-benar dengerin dan hargain pendapatnya, sekalipun lo nggak setuju.
- Kepercayaan (Trust): Percaya kalau dia mampu nanganin masalahnya sendiri, dan lo ada di sana buat jadi pendukungnya, bukan buat ngambil alih.
- Apresiasi (Appreciation): Puji usahanya, bukan cuma hasilnya. “Aku suka banget cara kamu mikirin solusinya,” itu jauh lebih berarti daripada sekadar, “Kamu hebat.”
Kesimpulan: Bukan Soal Ego, Tapi Soal Value
Jadi, mari kita berhenti pakai framework yang salah. Hubungan yang sehat itu bukan soal siapa yang harus ngalah atau siapa yang egonya lebih besar.
Hubungan yang sehat adalah tentang dua orang yang secara aktif bekerja sama untuk menghancurkan gengsi dan rasa insecure mereka masing-masing, sambil pada saat yang sama saling membangun dan menguatkan harga diri satu sama lain.
Tujuannya bukan untuk jadi pasangan yang “tanpa ego”, tapi untuk jadi pasangan yang punya self-worth yang begitu kokoh, sampai gengsi dan drama nggak punya tempat lagi untuk tumbuh.